Senin, 23 Juni 2008

Kethekoglenk: sebuah pembuka


“Oh ya Ta’, sekalian kasih alamat e-mail, friendster, dan blogmu ya!”,

Perempuan itu langsung tancap gas dengan sepeda motornya begitu lampu hijau. Dia berbelok ke timur, sementara saya harus ke barat. Ya, kami bertemu sekilas di perempatan jalan besar di Jogja. Sambil menunggu mata traffic light bermata hijau, saya iseng-iseng tengok kiri kanan, dan mak bedunduk, mata saya menangkapnya tepat ada di samping kanan motor saya. Dia teman lama, pernah satu SMP. Perbincangan singkat pun terjadi. Mulai dari hal standar: tanya kabar. Kami juga sempat saling bertukar nomor HP. Dan sesi perbincangan singkat dari pertemuan tidak direncanakan itu diakhiri dengan kalimat awal tulisan ini.

“Ya, saya akan kirimkan lewat SMS”, kata saya dalam hati. Tapi ternyata hal itu tidak segampang diucapkan. Saya punya e-mail, saya punya account friendster, tapi saya tidak punya blog. Wah, wah, pergaulan di jaman modern ternyata menuntut lebih banyak media. Dulu sebelum ada HP, saya cukup berkabar dengan teman-teman saya lewat pertemuan langsung, dan kalau jauh cukup dengan surat. Itupun tidak terlalu sering. Paling jika sedang kangen, atau butuh bantuan :). Dan saya tidak merasa ‘ada apa-apa’ jika seminggu tidak bertemu atau tidak menerima surat. Tapi sekarang, seperti kebanyakan orang, saya merasa ‘ada apa-apa’ jika sehari saja tidak menerima SMS atau telephon. Seakan-akan saya adalah orang yang dilupakan diantara begitu banyak teman, dan diantara begitu banyak alasan untuk menghubungi saya.

Hal ini mirip dengan yang terjadi dengan kami di rumah. Pakde pernah bilang, dulu di masa kecilnya belum ada listrik, belum ada TV, yang ada hanya radio, itupun kalau ingin mendengar harus datang di kantor kelurahan. Dan orang-orang tidak pernah mengeluh atas kondisi itu. Toh mereka tidak mati dengan ketiadaan itu, pun mereka tidak merasa ‘ada apa-apa’ dalam kehidupan mereka. Itulah realitas saat itu, dan itu hal wajar. Tapi bandingkan dengan saat ini. Listrik tinggal colok dari PLN, TV di rumah ada 3, belum lagi alat-alat elektronik lainnya: rice cooker, setrika, komputer, pompa air, dsb, dsb. Nah, saat listrik tiba-tiba padam, atau kena jatah pemadaman listrik bergilir, wah wah, seisi rumah semua mengeluh (termasuk saya). Ibu dan adik bingung TV mati, bulik bingung setrikaan mati, saya binggung komputer mati. Sepertinya kita ‘mati’ saat listrik mati. Apalagi jika matinya malam hari!. Itulah realitas saat ini, dan ini hal wajar. Saya kira Anda juga mengalaminya.

Begitulah ‘efek langsung’ kemajuan tekhnologi (saya tidak mau menyebutnya sebagai ‘efek samping’), anak kandung globalisasi. Hal-hal yang berhubungan dengan hi-tech seakan-akan menjadi kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Jika dulu dalam pelajaran dasar ekonomi di sekolah diajarkan bahwa kebutuhan utama manusia adalah: sandang, pangan, papan, kali ini saya akan menambahkan dengan dua hal: TV dan HP. Di kampung saya yang ndeso semua keluarga punya TV, sebagian besar anak -bahkan yang belum SMP- sudah merengek minta dibelikan HP, dan ajaibnya dengan pendapatan rendah orang tuanya sekalipun, HP tetap ada di tangan. Hal ini juga yang membuat saya jadi bingung saat membaca sebuah artikel tentang kriteria keluarga miskin yang dibuat BPS untuk penyaluran program BLT, yang salah satunya mencantumkan: tidak punya TV, motor, atau beberapa barang elektronik lainnya. Kalau begitu di kampung saya, tidak akan ada satu keluargapun yang bisa dianggap miskin, padahal jika melihat realitas, saya yang sudah mendekam di kampung saya selama lebih dari 20 tahun dapat dengan mudah menyimpulkan: masih banyak keluarga yang berhak menerima BLT di kampung saya.

Fenomena ini kemungkinan besar kerena telah terjadinya pergeseran pola pikir antara ‘apa-apa yang dibutuhkan’ dengan ‘apa-apa yang tidak dibutuhkan’, hingga dulu disaat jaman pakde kecil, listrik, TV, lebih-lebih HP, adalah barang-barang yang tidak terlalu dibutuhkan, sekarang barang-barang tersebut telah menjelma menjadi sebuah kebutuhan dasar, yang pelakunya akan mejadi seakan-akan ‘mati’ jika tidak memenuhinya segera.

Lalu apa yang hubungannya dengan pertemuan saya dengan teman SMP itu? Jelas saya ingin mendudukkan hal tersebut sebagai dasar yang sama saat saya memutuskan menulis ini, sekaligus saat saya memtuskan bahwa saya merasa membutuhkan media yang dulu tidak saya butuhkan sebagai sarana pertemanan: blog. Ya, saya akan membuat blog. Dan blog itu akan saya namakan kethekoglenk. Kenapa kethekoglenk? Nanti akan saya ceritakan dalam tulisan lain di blog ini.

Kini saya mampu menjawab permintaan teman SMP saya itu. Saya ambil HP dan mengirim SMS kepadanya. “ Nih e-mailku: cahgrojogan@yahoo.com, name friendsterku: resta, dan alamat blogku: kethekoglenk.blogspot.com.” Oh ya, buat teman-teman bloger lainnya, saya masih binggung dengan cara kerja dan fitur-fitur blog ini. Tolong ‘dibimbing’ ya. Thankyouuuuuuuuuuuuuuuuuuu…….

The Lost Boy:

Resta Gunawan

Tidak ada komentar: