Senin, 23 Juni 2008

Rambut

Apakah model rambut Anda? Klimis seperti bos mafia? Kribo seperti Edi Brokoli? Cepak seperti tentara? Lurus panjang seperti Jarwo Naif? Gimbal seperti Bob Marley? Gondrong seperti Jerry Yan a.k.a Tao Ming Tse? Mohawk seperti anak punk? Rambut melon seperti dua personel Cangchuters? Atau malah plontos kaya semangka, alias gak ada rambut babar blas…

Saya lagi ingin bicara rambut, terkhusus rambut laki-laki. Gaya rambut perempuan mah, banyak yang standar. Paling cuma tiga model, model lurus Titi Kamal, model poni lempar Revalina S Temat, atau model bob Bunga Citra Lestari. Kalo ada yang lain-lain, misalnya model hi-lite atau harajuku atau british, itu tak seberapa.

Jika pada wanita, rambut dibilang mahkota, kalau pada laki-laki rambut dibilang apa ya? Wah, saya tidak tahu pastinya. Teman saya ada yang bilang: rambut pada laki-laki seperti topi. Sekedar aksesori agar tidak kepanasan. Anda setuju? Saya tidak. Bagaimanapun, laki-laki juga manusia, dan selama masih jadi manusia –yang normal- penampilan tetap hal yang penting. Meski kadang penampilan sering menipu. Laki-laki dengan model rambut klimis yang kalem, rapi, dan wangi sering dianggap mewakili citra laki-laki mapan, sopan, baik-baik. Padahal bisa saja dia seorang pembunuh berdarah dingin, atau parahnya: koruptor berdarah setan! Demikian pula sebaliknya. Itulah kejamnya stereotip.

Ibu saya adalah salah satu yang mempercayai stereotip itu. Penampilan, apalagi rambut bagi laki-laki, adalah cermin kepribadiannya. Suatu kali beberapa teman kuliah yang berambut gondrong-gondrong (maklum mapala) datang ke rumah. Begitu melihat penampilan teman-teman saya: rambut gondrong, pakaian semrawut, dan parahnya agak bau, saya melihat sedikit perubahan raut muka ibu. Wah, tanda-tanda nih. Dan benar saja begitu teman-teman saya pulang, kalimat pertama yang keluar dari mulut ibu: “kok koncomu sangar-sangar, cah berandalan po piye?” Mampus! Untung yang berambut gimbal belum ada yang datang ke rumah. Kalau datang, mungkin kalimat ibu akan berubah: “koncomu wong edan po piye?” Dobel mampus!!

Beberapa tahun berselang, saya sengaja tidak memotong rambut. Mumpung jadi mahasiswa, kata saya, siapa suruh dulu ketika SMA dilarang-larang. Jadilah rambut saya bergaya agak ke-Tao Ming Tse-Tao Ming Tse-an, meski muka tidak mendukung. Ancur boleh ancur, yang penting gaya. Hahaha. Lalu, gara-gara ikut mapala, saya jarang pulang, lalu jadi jarang mandi, lalu jadi berpenampilan berantakan. Dan saat itu, saya tidak malu dengan hal itu. Tidak malu dengan pandangan sinis para dosen, tidak malu dengan tatapan agak jijik yang ditahan ‘gadis-gadis mall’ di kampus, tidak malu dengan diri sendiri dalam cermin. Jika Sakhespeare mengatakan apalah artinya nama, saya mengatakan apalah artinya penampilan, apa artinya model rambut. Toh segala sesuatunya tidak serta merta bisa diukur dari situ.

Di rumah saya menjadi orang asing. Diasingkan ibu, diasingkan adik perempuan, diasingkan bulik, sementara bapak, seperti biasa, biasa-biasa saja. Saya seperti makluk Mars yang salah mendarat di Venus. “Rambutmu kuwi lho..” begitulah biasanya ibu mulai membuka pembicaraan, entah di saat sedang makan atau sedang nonton TV, dan aktifitas-aktifitas lainnya, yang terus disambung dengan: bla..bla..bla.. ceramah panjang lebar tentang penampilan rapi dan sebagainya dan seterusnya, dengan kesimpulan yang sama: persis stereotip yang saya kemukakan di atas: orang dengan model rambut aneh, penampilan kaya preman, adalah milik orang-orang nggak bener. Sambil sesekali ibu memberikan contoh dari tayangan TV: “mbok koyo artis itu. wis bagus, sopan, rambute cendak”. Wah, television sindrom, saya membatin, tidak berani ngomong, takut kualat. Akhirnya saya hanya diam saja dan sesekali senyum-senyum dan sesekali pula berkata: “sesuk dipotong..” Tanpa memberikan waktu yang jelas. Besok kan bisa berarti sehari lagi, seminggu lagi, sebulan lagi, bertahun-tahun lagi. Demikian pula dengan perlakuan adik dan tante saya. Bahkan mereka bersepakat memberikan julukan baru kepada saya: luwak. Luwak adalah binatang sejenis kucing alas yang makan biji-bijian, dan yang jelas: jarang mandi dan tidak pernah cukur rambut!

Meminjam pernyataan salah satu teman psikologi: saya sedang kena stempel pengucilan bersayarat. Artinya, saya dikucilkan sementara karena suatu sebab, dan mungkin pengucilan itu akan dicabut begitu saya mencabut sebab itu. Dalam hal ini, rambutlah penyebabnya. Menghadapi hal itu, saya mencoba melawan, meski tidak frontal. Nek ra ngeyel, dudu wong enom, begitulah almarhum kakek saya pernah bilang.

Suatu kali, artis yang sempat dijadikan contoh oleh ibu ditangkap polisi karena kasus narkoba. Penampilannya necis, rapi, dan rambutnya cepak. Dalam hati saya tersenyum gembira, sambil mengeraskan volume TV agar ibu mendengar berita tersebut. Wah, saya bakalan menang, bisik saya dalam hati. Dan ibu memang melihat berita tersebut, tapi dia cuek saja. Wah..wah..curang. Saya pun tidak berani mengungkit-ungkit masalah tersebut. Mungkin dalam hatinya ibu tahu saya sedang berusaha menunjukkan berita tersebut sebagai bukti bahwa penampilan dan gaya rambut tidak selalu berbanding lurus dengan moral dan kelakuan. Meski penampilan serapi apapun, jika hatinya busuk, ya tetaplah sampah.

Setelah kejadian itu, ibu mulai jarang membahas mengenai rambut lagi. Wah benar dugaan saya, ibu mulai berpikir penampilan tidak selamanya mencerminkan sikap hidup seseorang. Hore, saya menang, sorak saya, lagi-lagi dalam hati. Akhirnya kekeraskepalaan anak laki-laki yang yakin benar bisa juga meluluhkan hati orang tua. Hehe..

Sekarang saya berambut pendek, tapi masih sedikit awut-awutan karena tidak pernah kena sisir. Tapi setidaknya tidak ada ganjalan mengenai rambut lagi antara saya dengan ibu dan perempuan lainnya di rumah. Akhirnya kami kembali lagi dari Mars dan Venus menuju Bumi. Penjelajahan yang menyenangkan, pikir saya. Kemudian seorang teman di kampus bertanya: “lalu kenapa rambutmu dipotong”. Saya tidak menjawab jelas, lebih mirip gumaman tepatnya. Cerita sebenarnya adalah seperti ini: saat itu saya sangat butuh uang, dengan terpaksa saya bilang ke bapak minta uang tambahan, bapak bilang minta ke ibu karena ibu yang pegang uang, dan inilah jawab ibu: “tak kei duit 300rb, ning potong rambut”. Wah ternyata perang belum usai, dan kali ini saya mesti menyerah kalah. Apa boleh buat, idealisme mengenai rambut terpaksa saya lego dengan uang 300rb. Yah mau bagaimana lagi, saya tidak mau pinjam uang, tidak mau mencuri, apalagi merampok. Nanti bisa-bisa stereotip tentang orang berambut gondrong itu preman benar-benar benar adanya. Wah..gawat.

Oh ya saat ini saya lagi senang dengan dua acara TV: Kick Andy dan talkshownya Wimar Witoelar, sekaligus senang dengan lagu-lagu Nidji. Dan kebetulan ketiga-tiganya memiliki ciri rambut kribo. Apakah saya kali ini harus mengubah gaya rambut saya ke kribo? Wallahualam.

The Lost Boy:

Resta Gunawan

Tidak ada komentar: