Rabu, 25 Juni 2008

Rasa kenangan

Seperti sebuah es krim yang punya banyak rasa. Kenangan memiliki banyak rasa pula. Jika es krim memiliki rasa coklat, vanila, strowbery, anggur, jeruk, dan lainnya, kenangan memiliki rasa yang lebih bervariasi, tergantung bagaimana Anda merasakannya. Saya suka menyeruput es krim rasa jeruk, tapi kenangan, ah, rasa-rasanya rasa apa saja tidak menarik hati saya. Tapi sebagaimana banyak orang lain yang menganggap hidup ini lebih banyak tidak menariknya, saya mesti pula merasakan kenangan. Bagi saya kenangan tidak enak. Entah bagi Anda. Makanya mari berbagi. Saya sedikit akan membagi kenangan yang tidak enak itu.


***


Layar monitor di hadapan saya bergetar sebentar. Ruangan praktikum yang berisikan belasan personal komputer itu mendadak seakan berhenti sejenak dari aktifitasnya. Saya yang sedang praktikum digital berhenti sejenak pula dan mengalihkan pandangan ke HP yang tergeletak di atas meja, di samping monitor komputer. Benar juga, ada SMS masuk. HP sengaja saya silent, sedang getarnya sudah lama mati. Andai perubahan frekuensi sinyal HP tidak menganggu frekuensi layar monitor, saya tidak bakal sadar ada SMS masuk.


Ta’ akhrny aq yg dluan sms km. gmn jln2nya? ta, aq mo tny cra nglupain org & nglangin rsa ma org. jjr aq g bs nglangin rsa ma A. rsQ k B bd bngt ma prsaanQ ma A..


Dan Masya Allah, di inbok tertulis nama pengirimnya: Cel. Saya tidak akan banyak bercerita siapa dia, mungkin Anda tidak kenal, dan saya tidak akan memaksa Anda untuk mengenalnya. Tapi begini saja, agar Anda tidak bingung dan merasa gothang saat membaca cerita ini, saya buatkan sedikit pengantar.


Cel adalah nama panggilan yang saya berikan untuk seorang perempuan yang sejak SMA saya rasa paling ‘dekat’ dengan saya. Bukan dalam arti fisik, tapi dalam konteks ‘batin’. Banyak hal yang tidak pernah saya ceritakan ke orang lain, tidak pernah saya singgung-singgung, selalu saya tutup-tutupi, entah kenapa saya ceritakan padanya. Boleh dikata, dia adalah salah satu ‘pemegang kunci’ dalam hidup saya. Meski dalam beberapa bulan (atau tahun?) terakhir kami jarang berkomunikasi. Dikarenakan kesibukannya atau keengganannya berbincang dengan saya, entahlah. Hingga dua hari yang lalu, hampir tengah malam, datang SMSnya membawa pesan: tanya kabar dan basa-basi lainnya (termasuk pengakuan bahwa saya ngangeni juga. Emang!). Saya yang sedikit jengkel diganggu saat sedang nulis puisi, ditambah ketidakhadirannya pada beberapa acara penting teman-teman kami, termasuk lupa (atau melupakan) mengucapkan sekedar sepotong dua potong kata-kata selamat pada hari ulang tahun saya, membalas SMS itu dengan malas-malasan (maafkan!!), dan keesokan harinya ritual kirim-mengirim SMS antara saya dan dia diakhirinya dengan kalimat: mungkin kita memang belum saatnya bertemu, semoga ketemu lagi, entah di lain hari, bulan, bahkan tahun. Dan secara serampangan saya menambah dengan: ya, entah di lain windu, dekade, abad, bahkan tidak sempat ketemu sama sekali. Duh!


Tapi hanya dua hari setelah SMS pagi itu, tepatnya pagi tadi, saat saya sedang mengumpulkan sisa-sisa ingatan tentang kuliah yang berhubungan dengan praktikum, dia melanggar janji itu: dia mengirim SMS yang isinya telah saya tuliskan di atas. Sepintas saya merasa senang telah mengalahkan ‘pertaruhan’ itu, tapi kemudian saya menjadi bingung harus membalas apa. Akhirnya diantara kebingungan ‘membuat peta’ dan ‘membalas SMS’, saya kirimkan balasan, sekaligus janji, saya akan melayani pertanyaan-pertanyaannya itu sehabis magrib. Dia setuju. Ah, selamat! Saya dapat perpanjangan waktu..


***


Kini saya sedang menghadapi layar komputer. Bukan layar komputer di ruang praktikum, tapi layar komputer di kamar saya. Sehabis praktikum tadi, saya buru-buru pulang dengan pikiran penuh: hasil praktikum yang ‘entahlah’, dan janji membalas SMS Cel. Sebelum saya membalas SMSnya, lebih baik saya menuliskan dahulu jawaban SMSnya tadi pagi di komputer, pikir saya. Dan itulah yang saya lakukan. Sore ini.


Pertama mari kita cermati isi SMS itu. Beberapa rangkaian pertanyaan yang dapat disederhanakan menjadi tiga hal: bagaimana jalan-jalannya, bagaimana cara menghilangkan perasaan (suka? cinta?) kepada seseorang di masa lalu, dan (kenapa?) ada perasaan yang beda antara perasaannya kepada A dan B. Saya sengaja tidak menyebutkan nama di sini, kerena saya menghargai privasi teman saya itu. Jujur saya tidak begitu mengenal dua orang yang disebutkannya, tapi minimal saya tahu sedikit-sedikit. A adalah pacar lamanya, dan B adalah pacarnya sekarang. Sekarang, marilah kita jawab satu per satu.


Bagaimana jalan-jalannya? Dalam SMS pertama dua hari yang lalu, saya memang menyebutkan bahwa besok (artinya kemarin) akan jalan-jalan ke FKY di Benteng Vredeburg. Dan jawaban saya adalah: gak usah dibahas. Tidak ada sesuatu yang bisa saya ceritakan kepadanya, dan bilapun terpaksa saya ceritakan hanya merupakan nostalgia yang menjemukan (dan menjengkelkan :p )


Nah, pertanyaan yang kedua adalah hal yang paling menarik: bagaimana melupakan atau bahkan menghilangkan perasaan (suka? cinta?) kepada orang yang pernah kita cintai.


Pertanyaan itu sepertinya klise, tapi memang begitulah yang sering terjadi di dunia asmara. Saya yakin Anda pernah mengalaminya, karena saya juga pernah. Jika ditelaah lebih jauh, pertanyaan itu memiliki dua hal yang bertolak belakang, seperti tesis dan antitesis, yaitu perasaan mencintai dan perasaan tidak ingin mencintai. Bagaimana mungkin kita memaksa perasaan untuk tidak mencintai orang yang kita cintai. Aneh bukan? Tapi lagi-lagi, itulah yang sering terjadi. Dunia! Apa yang tidak aneh di dunia ini?! Hal seperti itu seperti analogi: saya ingin mengirim surat ke seseorang, tapi saya tidak ingin orang itu membacanya, atau dibalik: saya ingin seseorang membaca surat saya, tapi saya tidak ingin mengirimkannya. Bagaimana bisa? Nah, nyatanya bisa, dan faktanya: banyak!


Cinta, seperti juga kata Alif lam mim dalam Al Qur’an, adalah misteri dunia. Misteri yang telah dicoba dipecahkan para filsuf-cendekia-pakar, mulai jaman Aristoteles hingga jaman Cristiano Ronaldo. Tapi apa yang didapat? Kata-kata agung, tips-tips romantis, kiat sukses, yang dibungkus dalam keranjang cantik, yang ternyata isinya kosong. Melompong. Saya ingat salah satu ungkapan tentang cinta: ingin memahami cinta, ikutilah jalan cinta.


“Praktek Mas, praktek!”, saya teringat kata-kata simbok bakul jamu yang kebetulan pernah saya temui sedang bercas-cis-cus melayani pembeli bule. “Saya ndak sekolah, tapi sedikit-sedikit bisa ngomong Inggris karena praktek”, tambahnya. Luar biasa, hebat! Empat jempol buat simbok itu. Seperti pula saya yang tidak mampu menyelesaikan praktikum dengan baik, meski sudah dicekoki ribuan teori oleh para dosen jenius, ya karena jarang praktek. Luar biasa….memalukannya! Empat pantat nungging buat saya.


Begitu pula dengan cinta: jalanilah cinta dan suatu saat kamu akan memahaminya. Dan jalan cinta tidak semulus jalan tol, bung! Dia kadang berbelok, kadang terjal, kadang berbatu, kadang berlobang-lobang, wah macam-macam saja rintangannya. Tapi itulah, kita akan merasa sangat puas jika sampai tujuan dengan selamat setelah melewati semuanya. Kalau mulus-mulus saja, jangan-jangan kita merasa kecewa setelah tahu tempat yang kita tuju ternyata cuma begitu-begitu aja.


Seperti saya yang tidak pernah kecewa dengan aktifitas mendaki gunung, meski di puncak tidak mendapatkan panorama indah yang sebelumnya saya bayangkan. Bukan puncak gunungnya yang saya cari, tapi jalan yang terjal, jalan setapak diantara jurang, batu-batu bergeletakan di sepanjang jalur pendakian, panas matahari membakar kulit, dingin malam menusuk tulang, dan hal-hal berat lainnya. Artinya saya tidak terlalu mengejar puncak, mengejar hasil, jika ternyata puncaknya indah, ya itu dianggap bonus saja, kalau tidak indah ya tidak usah kecewa. Proses kadang lebih penting, dan lebih indah dibanding hasil. Begitu kan?


Hmm.. saya terlalu jauh ya dari pertanyaan di atas? Saya memang sengaja memutar agak jauh, membicakan cinta dulu, membicarakan tidak enaknya cinta, baru akan membahas lebih dalam bagaimana jika kita merasa mencintai seseorang yang tidak ingin kita cintai tetapi ternyata kita mencintainya. Ya seperti analogi saya dengan gunung: anggap saja sebagai proses. Anggap saja sebagai bahan pertimbangan. Nah, jika Cel merasa masih memiliki rasa (suka? cinta?) kepada A meskipun saat ini dia telah memiliki lelaki lain di sampingnya (B), maka anggap saja sebagai sebuah proses. Lagi pula, status pacar tidak mengikat kita untuk tidak mencintai orang lain selain pacar kita bukan? (Ini bukan semacam pembenaran selingkuh, atau penghalalan penghianatan komitmen pacaran). Beda kalau sudah menjadi isteri/suami, yang memiliki status pernikahan sebagai landasan ikatan yang kokoh, meskipun menyukai orang adalah hak –termasuk menyukai orang selain suami/isteri kita- rasa suka tersebut tidak seharusnya ditunjukkan (apalagi dilakukan). Lalu, jika masih dalam tahap pacaran, tahap penjajakan, apa salahnya? Toh janji setia kepada pacar, tidak dicatat malaikat seperti janji pernikahan yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Tentu saja dengan komunikasi yang ‘baik-baik’. Dan apabila harus berpisah, juga berpisah dengan ‘baik-baik’.


Saya sebagai orang luar dalam masalah ini, mengganggap cinta (‘segitiga’?) semacam ini adalah hal yang wajar. Jamak. Dan tidak usah dibikin pusing. Hari gini mikirin cinta-cintaan model gini dengan berdarah-darah? ABCD: Aduh Bo’ Cape’ Deh.


Kemudian tentang kenangan. Saya yang sok tahu mengkait-kaitkan masalah ini sedikit banyak bersinggungan dengan kenangan. Apakah kenangan? Kenangan adalah kotak sejuta kemungkinan. Di dalamnya ada hal-hal yang serba mungkin. Ada percampuran cerita-cerita sedih dan senang. Saya kadang salah menarik kenangan dari lokus-lokus ingatan. Jalan ingatan..Ufh..Menyesatkan.


Seseorang mungkin mencintai seseorang yang pernah dicintainya karena aura ini. Aura kenangan. Ingatan tentang kenangan yang senang-senang membuat kita kangen, ingatan tentang kenangan yang sedih-sedih juga membuat kita kangen. Kalau sudah kangen-kangenan (tapi bukan Kangen Band, lho) ya lagu-lagunya ya cinta-cintaan. Kalau sudah cinta-cintaan, lalu…


Kenangan juga salah satu yang menggetarkan. Sesuatu yang berjarak. Dipisahkan waktu yang membentang di belakang kita. Antara kita dan kenangan terdapat jarak yang kadang-kadang bisa sangat pendek, juga bisa sangat panjang. Kenangan tentang seseorang yang pernah spesial di hati kita, biasanya termasuk jenis ingatan pendek. Ingatan yang mudah diingat. Ingatan mudah muncul kembali ketika kita melihat benda-benda yang mengingatkan kita pada seseorang itu. Pasangan yang dipertemukan di bioskop kemungkinan besar mengingat tentang pertemuan itu saat pelakunya memasuki bioskop, malah sekedar melihat pintu bioskop dari jauh, malah sekedar melihat papan reklame film-film, malah sekedar mendengar judul film, malah sekedar mendengar kata film.. Kalau saya sih, ingat seseorang yang pernah saya cintai ketika melihat toilet.. (hah..maksud lu?)


Saya mengutip kata-kata Puthut EA dalam buku kumpulan cerpennya: Isyarat Cinta Yang Keras Kepala. Puthut dalam salah satu cerpenya mengatakan, bahwa seseorang dalam menjalani hidupnya tidak hanya ditarik masa depan, tapi juga didorong masa lalu. Kenangan, ingatan, memori, dan konco-konconya ada di tataran masa lalu, sedangkan harapan, impian, ekspektasi, berada di jalur sebaliknya, masa depan. Kedua matra tersebut jika dihubungkan-hubungkan dengan hukum fisika Newton, selalu menempati pasangan aksi-reaksi. Tarik-menarik antara keduanya menyebabkan seseorang begitu saja terseret, atau secara sadar menceburkan diri, ke dalam arus waktu. Padahal waktu tidak pernah mudah ditebak. Segalanya mungkin. Jika karena bola itu bundar hingga tidak ada yang tidak mungkin dalam sepakbola, maka karena bumi itu bulat maka tidak ada yang tidak mungkin pula di dunia.


Dan mungkin, sekali lagi saya terlalu jauh mengartikan semua itu. Saya menjadi seperti kantong ajaib Doraemon yang mampu menyediakan apa saja, atau jangan-jangan merasa seperti Mesiah, sang juru penyelamat. Waduh sulit dijawab. Karena ini tentang rasa. Rasa adalah otoritas pribadi pelaku, seperti juga bagian awal tulisan ini: rasa es krim bermacam-macam, rasa kenangan lebih bermacam-macam. Sebagai pembuat tulisan ngawur ini, saya perlu menjelaskan, sekaligus untuk melengkapi janji kepada Cel, saya tidak akan menjawab pertanyaannya yang ketiga: (kenapa?) ada perasaan yang beda antara perasaannya kepada A dan B. Karena itu adalah masalah rasa. Rasa adalah otoritas pelakunya. Dalam hal ini Cel dan (mungkin) A serta B adalah pelakunya. Saya bukan pelaku dalam masalah ini. Tapi jika saya mengatakan bahwa rasa kenangan itu tidak enak, Anda bisa apa coba? Bukankah masalah rasa adalah otoritas pelakunya. Nah, di sinilah saya berperan sebagai pelaku.


***


Matahari sudah hampir sempurna tenggelam di cakrawala. Saya melihat jam, wah sudah hampir maghrib. Saya baru sadar, saya belum makan dari tadi pagi, saya belum ganti baju, bahkan saya belum sempat memutahkan air kencing yang sudah dari tadi menjerit-jerit minta tolong ingin keluar. Pak Giat mengumandangkan adzan dari mushola depan, wah, saya juga baru sadar belum mandi. Saya harus menyelesaikan tulisan ini, mandi, dan berangkat sholat Maghrib. Saya harus bergegas, sebab nanti sehabis maghrib saya sudah menjanjikan akan membalas SMS Cel. Huh..Untung saya sudah buat tulisan ini, jadi jika nanti dia tanya macam-macam, saya cuplik saja dari salah satu bagian tulisan ini. Dan untuk penutup, saya ingin menuliskan sebuah puisi yang saya buat beberapa saat setelah Cel mengirimkan SMS tengah malam pada beberapa hari yang lalu:


Merindukanmu


Merindukanmu seperti memeluk hujan

rintiknya lolos di sela-sela jari tangan


Merindukanmu seperti memeluk kabut

lembutnya sirna di tiap-tiap bisik sebut


Merindukanmu seperti memeluk kenangan

terendap diantara lika-liku jalan ingatan


(2008)


The Lost Boy:

Resta Gunawan






Tidak ada komentar: